Translate

Sunday, April 19, 2015

Racun Cinta


“Aku ga pernah cinta sama kamu, jadi jangan meminta apa-apa padaku. Meskipun hanya perhatian yang jarang sekalipun. Aku tidak punya waktu untuk memperhatikanmu. Aku memang pacar kamu. Tapi, aku pacar yang tidak pernah mencintai kamu. Jadi nikmatilah, hubungan cinta bertepuk sebelah tangan ini!”

Ucapan kasarnya, membuatku menarik tangan yang masih memegang lengannya. Segera setelah tanganku terlepas, Raka berbalik arah. Meninggalkanku yang hanya bisa memandangnya tidak berdaya. Ini kesekian kalinya, kencan kami berakhir dengan diriku, melihat punggungnya yang makin menjauh sebelum menghilang ditelan bayang-bayang.

Tubuhku luruh, terhenyak di kursi taman yang menjadi dingin meski baru 10 menit aku tinggalkan berdiri. Sedingin hatiku yang dicengkeram kebekuan.

Senja mulai turun, memeluk kehangatan sinar matahari yang tersisa. Kekhawatiran menyergapku, Aku tak pernah membenci senja, bahkan bisa dibilang, aku menyukainya. Sinar kemerahan yang ia bawa, seolah menjanjikan matahari yang lebih cerah esok hari. Semesta sedang mengajakku tersenyum. Jiwaku hanya ketakutan akan bayang malam, yang mungkin terlalu pekat untuk bisa aku lewati.

Ponselku bergetar,”Pulanglah.” Singkat sekali pesannya. Membuatku memutar otak, mencari makna yang selalu coba aku tangkap dari setiap kata yang dia ucapkan. Apa dibalik kata pulanglah ini, ada kekhawatiran yang berusaha kamu katakan karena meninggalkanku di tempat asing sendirian? Atau pulanglah ini hanya sekedar pulanglah?

Aku bangkit, mengikuti perintah dari pesan singkat yang bahkan belum aku balas. Berjalan memutar menuju rel kereta api di belakang taman. Seharusnya aku mengatakan ‘iya’ untuk menjawabnya. Tapi setelah kata-kata kasarnya barusan, otakku berputar puluhan kali, sebelum mengetik ‘iya’ dan kemudian menyesalinya. Harusnya aku mengabaikan orang yang sudah sedemikian kasar padaku.

“Itu bukan cinta, Ra. Cinta itu tidak pernah menyakiti!”Terngiang ucapan Niar beberapa hari yang lalu, saat dia menemukan luka lebam di pipiku. Hasil pertengkaranku dengan Raka, beberapa hari sebelumnya. Aku tak sanggup membantah, karena apa yang dikatakan Niar memang benar.

Cinta, memang tidak seharusnya menyakiti. Tapi bagaimana jika hanya aku yang jatuh cinta. Apa itu lantas membuat dia pantas menyakitiku? Bagaimana hubungan semacam ini seharusnya berjalan? Aku tidak pernah tahu.

“Eh... ma... maaf!” Pemuda yang tampaknya baru berusia pertengahan dua puluhan yang aku tabrak itu hanya tersenyum. Bangkit berdiri, menepuk debu yang mengotori celananya.

“Tidak apa-apa. Mau naik kereta ini juga?”

“Iya,”

“Silahkan, Ladies first.”

Aku mendahului dia masuk kedalam. Melongok kekanan dan kekiri mencari bangku yang kosong. Ada dua bangku kosong di sudut, beberapa bangku kosong di tengah. Tapi kesudut itulah aku membawa langkah kakiku. Terlalu lelah untuk menatap siapapun. Aku memejamkan mata begitu tubuhku menyentuh bantalan empuk kursi kereta.

Menggeser tubuhku untuk orang-entah siapa- yang berusaha duduk disampingku.

Dia mungkin di rumah, atau di rumah selingkuhannya. Atau mungkin dia berakhir di club dengan temannya. Aku ingin tahu dia dimana, Tapi terlalu takut bertanya.

“Apa kamu sedang memikirkan sesuatu?”

Aku mendengar suara itu lamat-lamat. Mengabaikannya karena suara itu tidak aku kenali, Mungkin ada yang sedang bercakap-cakap didekatku.

“Aku mungkin tidak bisa membantu menyelesaikan masalahmu, tapi aku bisa menjadi pendengar yang baik. Kamu tahu, terkadang kita hanya butuh didengarkan.”

Apa Orang itu bicara sendirian? aku tidak mendengar orang lain menjawab pertanyaannya. Penasaran mengalahkan rasa malasku. Pelan aku buka mata, terhenyak saat sepasang mata biru elektrik menatapku penuh kekhawatiran.

Pemuda yang tadi aku tabrak di pintu masuk.

“So... sorry,”Suaraku menggantung.

“Keningmu berkerut, wajahmu gusar. Ada masalah di otak kecilmu itu, yang ingin kamu bagi denganku?”

“Membagi masalah dengan orang asing?”

“Yah, kenapa tidak? Kadang, orang asing akan lebih objektif daripada orang yang sudah kamu kenal.”

Aku terdiam, terlalu bingung untuk berkomentar. Dia tersenyum, betapa ajaib. Senyum tulus berlesung pipitnya, sanggup membuat hatiku tenang. Ibarat oase yang aku temukan di tengah padang pasir. Menyejukkan laksana tetes air ditengah kemarau berkepanjangan.

Namanya Erick, seorang founder sebuah perusahaan yang tidak aku ingat -karena terlalu panjang- dan aku payah mengingat. Yang aku ingat dari dia, hanya cincin batu bercorak singa yang melingkar anggun di tangannya.  Dan senyum culasnya karena berhasil memerangkapku sampai aku tidak bisa turun di stasiun tujuanku dan terpaksa menemaninya menikmati segelas kopi di cafetaria stasiun tujuannya.

Kami bicara panjang lebar, bahkan aku menceritakan padanya tentang Raka-ku. Dan anehnya, dia tidak menceramahiku harus begini dan begitu seperti umumnya teman teman yang mendengar ceritaku tentang Raka.

Dia hanya bilang,”cinta sedang menancapkan racunnya di hatimu, semakin kamu biarkan racun ini menyebar. Semakin cepat dia melumpuhkanmu. Jaga agar cinta itu hanya meracuni hatimu. Bukan otak dan juga tubuhmu. Atau kamu akan dikontrol 100% olehnya.”

Kata-kata membingungkan yang awalnya tidak aku mengerti maknanya, tapi setelah sampai di rumah dan merenungkan ucapan itu beberapa kali. Kesadaran seakan mencambukku. Aku membiarkan Raka memperlakukanku semena-mena karena perasaan yang aku namai cinta itu sudah meracuni pikiranku.

Membuatku lemah akan dirinya, membuatku terlalu butuh penawar yang dia janjikan di balik rasa sakit yang dia ciptakan.  Racun itu sudah menyebar di sekujur tubuhku, membuat jiwaku sakit dan kecanduan akan kehadirannya. Terlalu sulit menolak permintaan di balik senyumannya.

“Terima kasih, aku akhirnya tahu harus bagaimana.”Tulisku di Line.

“You deserved to be happy, even if you’ve life in the fire.”Balas Erick.


“You deserved to be happy, even if you’ve life in the fire.”Balas Erick.

Senyumku mengembang, “Kebahagiaan, hanya tergantung bagaimana caraku berfikir.”

“Yup! Do your best girl. Just told me, if you need someone to talk. I’m here for you.”

“TYSM”

“YWC”


Aku memandang bayangan diriku di cermin, merasa seakan menemukan seorang aku yang baru. Meski sama sekali tidak ada yang berubah kecuali sinar mataku yang sekarang berkilauan. Aku raih handphoneku, menghapus Raka dari contact whatsappku. Dan menekan notification OFF di id line-nya.

Jika dalam kesunyian, aku tidak bisa meciptakan kerinduannya padaku. Maka selamanya aku tidak akan pernah bisa menyentuh hatinya. Racun ini harus dilawan, sebelum dia membunuhku.


#FIKSIRACUN

No comments: