“Aku ga pernah
cinta sama kamu, jadi jangan meminta apa-apa padaku. Meskipun hanya perhatian
yang jarang sekalipun. Aku tidak punya waktu untuk memperhatikanmu. Aku memang pacar
kamu. Tapi, aku pacar yang tidak pernah mencintai kamu. Jadi nikmatilah,
hubungan cinta bertepuk sebelah tangan ini!”
Ucapan kasarnya,
membuatku menarik tangan yang masih memegang lengannya. Segera setelah tanganku
terlepas, Raka berbalik arah. Meninggalkanku yang hanya bisa memandangnya tidak
berdaya. Ini kesekian kalinya, kencan kami berakhir dengan diriku, melihat punggungnya
yang makin menjauh sebelum menghilang ditelan bayang-bayang.
Tubuhku luruh,
terhenyak di kursi taman yang menjadi dingin meski baru 10 menit aku tinggalkan
berdiri. Sedingin hatiku yang dicengkeram kebekuan.
Senja mulai
turun, memeluk kehangatan sinar matahari yang tersisa. Kekhawatiran menyergapku,
Aku tak pernah membenci senja, bahkan bisa dibilang, aku menyukainya. Sinar
kemerahan yang ia bawa, seolah menjanjikan matahari yang lebih cerah esok hari.
Semesta sedang mengajakku tersenyum. Jiwaku hanya ketakutan akan bayang malam,
yang mungkin terlalu pekat untuk bisa aku lewati.
Ponselku
bergetar,”Pulanglah.” Singkat sekali pesannya. Membuatku memutar otak, mencari
makna yang selalu coba aku tangkap dari setiap kata yang dia ucapkan. Apa
dibalik kata pulanglah ini, ada kekhawatiran yang berusaha kamu katakan karena
meninggalkanku di tempat asing sendirian? Atau pulanglah ini hanya sekedar
pulanglah?
Aku bangkit,
mengikuti perintah dari pesan singkat yang bahkan belum aku balas. Berjalan
memutar menuju rel kereta api di belakang taman. Seharusnya aku mengatakan ‘iya’
untuk menjawabnya. Tapi setelah kata-kata kasarnya barusan, otakku berputar
puluhan kali, sebelum mengetik ‘iya’ dan kemudian menyesalinya. Harusnya aku
mengabaikan orang yang sudah sedemikian kasar padaku.
“Itu bukan
cinta, Ra. Cinta itu tidak pernah menyakiti!”Terngiang ucapan Niar beberapa
hari yang lalu, saat dia menemukan luka lebam di pipiku. Hasil pertengkaranku
dengan Raka, beberapa hari sebelumnya. Aku tak sanggup membantah, karena apa
yang dikatakan Niar memang benar.
Cinta, memang
tidak seharusnya menyakiti. Tapi bagaimana jika hanya aku yang jatuh cinta. Apa
itu lantas membuat dia pantas menyakitiku? Bagaimana hubungan semacam ini
seharusnya berjalan? Aku tidak pernah tahu.
“Eh... ma...
maaf!” Pemuda yang tampaknya baru berusia pertengahan dua puluhan yang aku
tabrak itu hanya tersenyum. Bangkit berdiri, menepuk debu yang mengotori
celananya.
“Tidak apa-apa. Mau
naik kereta ini juga?”
“Iya,”
“Silahkan,
Ladies first.”
Aku mendahului
dia masuk kedalam. Melongok kekanan dan kekiri mencari bangku yang kosong. Ada dua
bangku kosong di sudut, beberapa bangku kosong di tengah. Tapi kesudut itulah
aku membawa langkah kakiku. Terlalu lelah untuk menatap siapapun. Aku memejamkan
mata begitu tubuhku menyentuh bantalan empuk kursi kereta.
Menggeser tubuhku
untuk orang-entah siapa- yang berusaha duduk disampingku.
Dia mungkin di rumah,
atau di rumah selingkuhannya. Atau mungkin dia berakhir di club dengan temannya.
Aku ingin tahu dia dimana, Tapi terlalu takut bertanya.
“Apa kamu sedang
memikirkan sesuatu?”
Aku mendengar suara
itu lamat-lamat. Mengabaikannya karena suara itu tidak aku kenali, Mungkin ada
yang sedang bercakap-cakap didekatku.
“Aku mungkin
tidak bisa membantu menyelesaikan masalahmu, tapi aku bisa menjadi pendengar yang
baik. Kamu tahu, terkadang kita hanya butuh didengarkan.”
Apa Orang itu
bicara sendirian? aku tidak mendengar orang lain menjawab pertanyaannya. Penasaran
mengalahkan rasa malasku. Pelan aku buka mata, terhenyak saat sepasang mata
biru elektrik menatapku penuh kekhawatiran.
Pemuda yang tadi
aku tabrak di pintu masuk.
“So... sorry,”Suaraku
menggantung.
“Keningmu
berkerut, wajahmu gusar. Ada masalah di otak kecilmu itu, yang ingin kamu bagi denganku?”
“Membagi masalah
dengan orang asing?”
“Yah, kenapa
tidak? Kadang, orang asing akan lebih objektif daripada orang yang sudah kamu
kenal.”
Aku terdiam, terlalu
bingung untuk berkomentar. Dia tersenyum, betapa ajaib. Senyum tulus berlesung
pipitnya, sanggup membuat hatiku tenang. Ibarat oase yang aku temukan di tengah
padang pasir. Menyejukkan laksana tetes air ditengah kemarau berkepanjangan.
Namanya Erick,
seorang founder sebuah perusahaan yang tidak aku ingat -karena terlalu panjang-
dan aku payah mengingat. Yang aku ingat dari dia, hanya cincin batu bercorak singa yang melingkar anggun di tangannya. Dan senyum culasnya karena berhasil memerangkapku sampai aku tidak bisa turun
di stasiun tujuanku dan terpaksa menemaninya menikmati segelas kopi di
cafetaria stasiun tujuannya.
Kami bicara
panjang lebar, bahkan aku menceritakan padanya tentang Raka-ku. Dan anehnya,
dia tidak menceramahiku harus begini dan begitu seperti umumnya teman teman
yang mendengar ceritaku tentang Raka.
Dia hanya
bilang,”cinta sedang menancapkan racunnya di hatimu, semakin kamu biarkan racun
ini menyebar. Semakin cepat dia melumpuhkanmu. Jaga agar cinta itu hanya
meracuni hatimu. Bukan otak dan juga tubuhmu. Atau kamu akan dikontrol 100%
olehnya.”
Kata-kata membingungkan
yang awalnya tidak aku mengerti maknanya, tapi setelah sampai di rumah dan
merenungkan ucapan itu beberapa kali. Kesadaran seakan mencambukku. Aku membiarkan Raka memperlakukanku semena-mena karena
perasaan yang aku namai cinta itu sudah meracuni pikiranku.
Membuatku lemah
akan dirinya, membuatku terlalu butuh penawar yang dia janjikan di balik rasa
sakit yang dia ciptakan. Racun itu sudah
menyebar di sekujur tubuhku, membuat jiwaku sakit dan kecanduan akan
kehadirannya. Terlalu sulit menolak permintaan di balik senyumannya.
“Terima kasih,
aku akhirnya tahu harus bagaimana.”Tulisku di Line.
“You deserved to
be happy, even if you’ve life in the fire.”Balas Erick.
“You deserved to
be happy, even if you’ve life in the fire.”Balas Erick.
Senyumku
mengembang, “Kebahagiaan, hanya tergantung bagaimana caraku berfikir.”
“Yup! Do your
best girl. Just told me, if you need someone to talk. I’m here for you.”
“TYSM”
“YWC”
Aku memandang
bayangan diriku di cermin, merasa seakan menemukan seorang aku yang baru. Meski sama
sekali tidak ada yang berubah kecuali sinar mataku yang sekarang berkilauan. Aku
raih handphoneku, menghapus Raka dari contact whatsappku. Dan menekan
notification OFF di id line-nya.
Jika dalam
kesunyian, aku tidak bisa meciptakan kerinduannya padaku. Maka selamanya aku
tidak akan pernah bisa menyentuh hatinya. Racun ini harus dilawan, sebelum dia
membunuhku.
#FIKSIRACUN
No comments:
Post a Comment