“ Saya terima nikahnya, Ariyani binti Tirtowiyono. Dengan mas kawin,
seperangkat alat sholat. Dibayar TUNAI.”
Dalam satu tarikan nafas, mas Adam mengucapkan kata kata itu. Ketegangan yang sempat
tercetak jelas di wajahnya. Mulai memudar sekarang.
“ Sah ?” Tanya bapak penghulu, pada beberapa orang saksi dan keluarga yang
berkumpul mengelilingi meja.
“ Saaaaahhhhh!”
Teriakan nyaringku beradu
dengan teriakan sah dari orang orang. Aku tersenyum, bahagia.
Bu De Asri, berkali kali
mengusap air matanya. Ibuku bahkan sudah sesenggukan saling pelukan dengan Bu
De Halimah.
“ Mbak, tar malem lagi aja dag dig dugnya. Jangan di abisin sekarang.” Bisikku
pada kakak sepupuku yang hari ini terlihat cantik, di balut kebaya tradisional
warna putih.
Tangannya menjangkauku
menyiksa pahaku dengan cubitan kecil andalannya. Membuatku hampir menjerit
kesakitan. Aku memegang tangan Mbak Yani, mencoba menyingkirkannya.
Tangannya basah penuh keringat, dan juga dingin.
Apa dia baik baik saja.
Sedikit cemas menyusup kedalam hatiku. Aku mencari wajahnya di balik kerudung.
Tapi karena dia menunduk. Aku tidak bisa menemukan air mukanya sama sekali.
Selesai membaca doa, Mbak Yani memutar duduknya menghadap mas Adam. Dan mencium
tangan mas Adam. Di balas mas Adam dengan ciuman lembut di keningnya. Meski aku
meleleh melihat adegan itu. Rasa penasaran dengan tangannya yang basah,
membuatku masih berusaha melihat air muka kakakku.
Berdua mereka beringsut, ke hadapan Bu De Asri dan Pak De Tirto. Bersimpuh,
memohon restu.
Aku berbisik, pada Mbak Lily yang duduk di sampingku, “ Kalau nikah nanti, aku
juga mau suasananya kayak gini aja.”
“ Aku juga.” Balas Mbak Lily, dalam bisikan yang sama lirihnya.
Mbak Yani, kakak sepupuku ini cantiknya bener bener luar biasa. Di keluarga
besar kami, dialah yang paling cantik. Aku jadi membayangkan, kalau
seandainya aku yang ada di samping mas Adam sekarang. Apa aku juga akan
terlihat secantik itu. Tidak tentu saja, wajah kami beda level.
" Giliran ke mertua, Yani.” Bisik Bu RT. Sambil menowel lengan Mbak Yani
yang masih duduk bersimpuh dengan kepala di pangkuan Pak De. Tapi mbak Yani,
bergeming.
Bahkan saat mas Adam, mengelus punggungnya pun. Mbak Yani masih di posisi
semula.
Tangannya basah, deg degan. Sakit lemah jantungnya. Kalau kumat, kan biasanya
seperti itu.
Aku mendekat, berjalan menggunakan
lutut.
“ Tari. “ Ujar Bu RT menahan tubuhku.
“ Mbak... “ panggilku, tapi masih senyap.
“ Bangun... Innalilahi... Mbak...” Panggilku lagi, kali ini sambil berusaha
menggapai tubuhnya. Mengabaikan Bu RT, yang menarik lenganku agar aku tidak
menganggu prosesi sungkeman. Aku menubruk nya, dan dia langsung terguling
tidak sadarkan diri, di pangkuan Pak De yang mematung.
Mas Adam, jatuh terduduk di langgar ibuku yang berlari dari ujung meja. Bu De
Halimah mendorong beberapa orang yang mendekat. Matanya tak lagi terbuka.
Meski senyum tak hilang dari bibirnya.
Mbak Lily mendekatkan hidungnya ke dada Mbak Yani,
melalui usaha keras menyingkirkan Bu De As yang memeluknya erat. Gelengan
kepala Mbak Lily dan denyut nadi yang sunyi di tanganku.
Kakakku sudah tidak ada.
Kakiku terasa lemas. Mbak Lily
menjerit putus asa. Lolongannya beradu kuat dengan lolongan ibu dan bu de
Halimah.
Air mataku jatuh menganak sungai, aku menoleh pada Mas Adam. Yang bengong
memperhatikan segala kepanikan yang terjadi.
Wajah mas Adam
pucat pasi, mulutnya komat kamit merapal doa. Matanya nanar menatap tubuh kaku
kakakku yang bermandikan air mata duka, keluarga besar kami.
Aku mendekatinya, “ Mas...”
“ Innalilahi, wa InnaIllahi Rojiun,” ternyata itu yang sedari tadi dia baca.
Mengabaikan tata krama. Aku merangkulnya. Berpelukan kami, menangisi kepergian
orang yang sama sama kami sayangi.
****
Sudah satu tahun, sejak
kejadian itu terjadi. Meski sekarang tidak ada lagi yang mengikat mas Adam
dengan keluarga besar kami. Tapi kakak sepupuku itu masih sering tidur di
rumah. Entah di rumahku, di rumah bu de Halimah, ataupun di rumah Bu De Asri.
Saking seringnya dia kerumah,
sampai beberapa tetangga menggosipkan kalau mas Adam, sedang mendekati Mbak
Lily. Anak bu de Halimah. Yang mukanya kebetulan agak mirip dengan mbak Yani.
“ Dam, pak lek mau ngomong.”
Ujar Ayahku, malam itu. saat mas Adam muncul di rumah kami untuk kesekian
kalinya.
“ kenapa lek ?”
“ Tari, matiin tipinya itu.
coba kamu main dulu keluar sana.”
“ Males ah yah, lagi seru.”
Elakku. Padahal tidak ada yang seru di TV.
Aku hanya ingin tahu isi
pembicaraan Ayah dengan Mas Adam.
“ Kalau gitu, kecilin suara
tipinya !”
Aku menurut, menarik remote
TV dan mengurangi bar volume.
“ Soal, gosip yang simpang
siur di tetangga, Dam. Pak Lek ini sebenernya ndak enak, mau nanya begini
sama kamu. Tapi buat meluruskan pandangan keluarga besar saja. “
“ Tanyakan saja Lek, tidak
apa apa.”
“ Apa kamu ada niat
turun ranjang? Maksud Pak Lek, nikah lagi dengan Lily ?”
Tubuhku menegang. Nafas mas
Adam yang tertahan, Membuatku juga yakin kalau diapun tegang. Aku memasang
telingaku lebar lebar, takut kehilangan satu katapun dari jawabannya.
“ Saya cuma ingin
menjalin silaturahmi, lek. Meski Yani udah ndak ada. Keluarga ini sudah saya
anggap seperti keluarga kedua saya. Kalau karena seringnya saya datang kesini.
Menimbulkan gosip yang ndak jelas. Apa saya membatasi silaturahmi saya kesini
saja ? ”
“ Ya jangan gitu, kami ini
keluarga besar. Senang kalau kamu sering main kesini. Meskipun Yani udah ndak
ada, kan kamu itu sah menantu keluarga besar Reso Dikromo.”
“ Saya ndak enak lek, kalo
jadi bahan gosip untuk keluarga ini.”
“ Ndak usah di pikirkan itu,
tapi Dam, apa kamu sama sekali ndak pengen turun ranjang. Usia Lily juga udah
matang. Dia juga sepertinya tertarik sama kamu.”
Aku melirik siluet mas adam
dari kaca bufet tempat tv ku bertengger. Jantungku seakan berlompatan keluar
dari rongganya.
“ Ndak, lek. Lily itu
sudah saya anggap adek saya sendiri.”
Aku menghembuskan nafas,
lega.
“ Ya sudah, kalau begitu. Oh
iya, pak Lek mau ke rumah pak rt, ada arisan. Kamu ndak papa disini ya. Temenin
Tari. Ibunya ndak tau pergi kemana.”
“ Njih, Pak Lek.”
Begitu Ayah meninggalkan
rumah, aku bangkit dari tidur malasku. Duduk menghadap mas Adam. Menatap dia yang
juga sedang memandangku dari kursi sofa.
Jika cinta tidak bisa
mengembalikan engkau kepadaku di kehidupan ini, pastilah cinta akan menyatukan
kita di kehidupan yang akan datang.
Mas akan selalu sayang sama Tari, meskipun tubuh mas sekarang sudah milik
orang lain.
Teringat aku, pada penggalan
surat yang sampai sekarang masih ku simpan rapi, di locker kecilku. Surat yang
di berikan Mas Adam, setahun lalu. 3 hari sebelum dia melamar Mbak Yani. Hari
ketika kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan, karena tidak ingin menyakiti
Mbak Yani.
“ Kenapa tidak dengan kamu
aja. Mas turun ranjang, Tari ?”
“ Karena Tari ndak mau mas,
Mbak Lily... mencintai mas Adam juga. Tari ndak mau, cinta Tari menyakiti
siapapun.”
Mas Adam menyandarkan
punggungnya di sandaran kursi. Menarik nafas panjang dan menatapku pasrah.
#MeminjamKata
#KhalilGibran- Kalau tidak salah sih SayapSayapPatah ( Lupa halaman berapa )
No comments:
Post a Comment