Translate

Sunday, March 15, 2015

Turun Ranjang




           “ Saya terima nikahnya, Ariyani binti Tirtowiyono. Dengan mas kawin, seperangkat alat sholat. Dibayar TUNAI.”
             Dalam satu tarikan nafas, mas Adam mengucapkan kata kata itu. Ketegangan yang sempat tercetak jelas di wajahnya. Mulai memudar sekarang.
            “ Sah ?” Tanya bapak penghulu, pada beberapa orang saksi dan keluarga yang berkumpul mengelilingi meja.
             “ Saaaaahhhhh!”
Teriakan nyaringku beradu dengan teriakan sah dari orang orang.  Aku tersenyum, bahagia.
Bu De Asri, berkali kali mengusap air matanya. Ibuku bahkan sudah sesenggukan saling pelukan dengan Bu De Halimah.
            “ Mbak, tar malem lagi aja dag dig dugnya. Jangan di abisin sekarang.” Bisikku pada kakak sepupuku yang hari ini terlihat cantik, di balut kebaya tradisional warna putih.
Tangannya menjangkauku menyiksa pahaku dengan cubitan kecil andalannya. Membuatku hampir menjerit kesakitan. Aku memegang tangan Mbak Yani, mencoba menyingkirkannya.
             Tangannya basah penuh keringat, dan juga dingin.
             Apa dia baik baik saja. 
          Sedikit cemas menyusup kedalam hatiku. Aku mencari wajahnya di balik kerudung. Tapi karena dia menunduk. Aku tidak bisa menemukan air mukanya sama sekali.
          Selesai membaca doa, Mbak Yani memutar duduknya menghadap mas Adam. Dan mencium tangan mas Adam. Di balas mas Adam dengan ciuman lembut di keningnya. Meski aku meleleh melihat adegan itu. Rasa penasaran dengan tangannya yang basah, membuatku masih berusaha melihat air muka kakakku.
           Berdua mereka beringsut, ke hadapan Bu De Asri dan Pak De Tirto. Bersimpuh, memohon restu.
          Aku berbisik, pada Mbak Lily yang duduk di sampingku, “ Kalau nikah nanti, aku juga mau suasananya kayak gini aja.”
           “ Aku juga.” Balas Mbak Lily, dalam bisikan yang sama lirihnya.
           Mbak Yani, kakak sepupuku ini cantiknya bener bener luar biasa. Di keluarga besar kami,  dialah yang paling cantik. Aku jadi membayangkan, kalau seandainya aku yang ada di samping mas Adam sekarang. Apa aku juga akan terlihat secantik itu. Tidak tentu saja, wajah kami beda level.
           " Giliran ke mertua, Yani.” Bisik Bu RT. Sambil menowel lengan Mbak Yani yang masih duduk bersimpuh dengan kepala di pangkuan Pak De. Tapi mbak Yani, bergeming.
                Bahkan saat mas Adam, mengelus punggungnya pun. Mbak Yani masih di posisi semula.
   Tangannya basah, deg degan. Sakit lemah jantungnya. Kalau kumat, kan biasanya seperti itu.
 Aku mendekat, berjalan menggunakan lutut.
                “ Tari. “ Ujar Bu RT menahan tubuhku.
                “ Mbak... “ panggilku, tapi masih senyap.
           “ Bangun... Innalilahi... Mbak...” Panggilku lagi, kali ini sambil berusaha menggapai tubuhnya. Mengabaikan Bu RT, yang menarik lenganku agar aku tidak menganggu prosesi sungkeman. Aku menubruk nya, dan  dia langsung terguling tidak sadarkan diri, di pangkuan Pak De yang mematung.
                Mas Adam, jatuh terduduk di langgar ibuku yang berlari dari ujung meja. Bu De Halimah mendorong beberapa orang yang mendekat.  Matanya tak lagi terbuka. Meski senyum tak hilang dari bibirnya.
               Mbak Lily mendekatkan hidungnya ke dada Mbak Yani, melalui usaha keras menyingkirkan Bu De As yang memeluknya erat. Gelengan kepala Mbak Lily dan denyut nadi yang sunyi di tanganku.
Kakakku sudah tidak ada.
Kakiku terasa lemas. Mbak Lily menjerit putus asa. Lolongannya beradu kuat dengan lolongan ibu dan bu de Halimah.
          Air mataku jatuh menganak sungai, aku menoleh pada Mas Adam. Yang bengong memperhatikan segala kepanikan yang terjadi.
   Wajah mas Adam pucat pasi, mulutnya komat kamit merapal doa. Matanya nanar menatap tubuh kaku kakakku yang bermandikan air mata duka, keluarga besar kami.
                Aku mendekatinya, “ Mas...”
                “ Innalilahi, wa InnaIllahi Rojiun,” ternyata itu yang sedari tadi dia baca. Mengabaikan tata krama. Aku merangkulnya. Berpelukan kami, menangisi kepergian orang yang sama sama kami sayangi.

                ****
 Sudah satu tahun, sejak kejadian itu terjadi. Meski sekarang tidak ada lagi yang mengikat mas Adam dengan keluarga besar kami. Tapi kakak sepupuku itu masih sering tidur di rumah. Entah di rumahku, di rumah bu de Halimah, ataupun di rumah Bu De Asri.
Saking seringnya dia kerumah, sampai beberapa tetangga menggosipkan kalau mas Adam, sedang mendekati Mbak Lily. Anak bu de Halimah. Yang mukanya kebetulan agak mirip dengan mbak Yani.
“ Dam, pak lek mau ngomong.” Ujar Ayahku, malam itu. saat mas Adam muncul di rumah kami untuk kesekian kalinya.
“ kenapa lek ?”
“ Tari, matiin tipinya itu. coba kamu main dulu keluar sana.”
“ Males ah yah, lagi seru.” Elakku. Padahal tidak ada yang seru di TV.
Aku hanya ingin tahu isi pembicaraan Ayah dengan Mas Adam.
“ Kalau gitu, kecilin suara tipinya !”
Aku menurut, menarik remote TV dan mengurangi bar volume.
“ Soal, gosip yang simpang siur di tetangga, Dam.  Pak Lek ini sebenernya ndak enak, mau nanya begini sama kamu. Tapi buat meluruskan pandangan keluarga besar saja. “
“ Tanyakan saja Lek, tidak apa apa.”
“  Apa kamu ada niat turun ranjang? Maksud Pak Lek, nikah lagi dengan Lily ?”
Tubuhku menegang. Nafas mas Adam yang tertahan, Membuatku juga yakin kalau diapun tegang. Aku memasang telingaku lebar lebar, takut kehilangan satu katapun dari jawabannya.
“  Saya cuma ingin menjalin silaturahmi, lek. Meski Yani udah ndak ada. Keluarga ini sudah saya anggap seperti keluarga kedua saya. Kalau karena seringnya saya datang kesini. Menimbulkan gosip yang ndak jelas. Apa saya membatasi silaturahmi saya kesini saja ? ”
“ Ya jangan gitu, kami ini keluarga besar. Senang kalau kamu sering main kesini. Meskipun Yani udah ndak ada, kan kamu itu sah menantu keluarga besar Reso Dikromo.”
“ Saya ndak enak lek, kalo jadi bahan gosip untuk keluarga ini.”
“ Ndak usah di pikirkan itu, tapi Dam, apa kamu sama sekali ndak pengen turun ranjang. Usia Lily juga udah matang. Dia juga sepertinya tertarik sama kamu.”
Aku melirik siluet mas adam dari kaca bufet tempat tv ku bertengger. Jantungku seakan berlompatan keluar dari rongganya.
 “ Ndak, lek. Lily itu sudah saya anggap adek saya sendiri.”
Aku menghembuskan nafas, lega.
“ Ya sudah, kalau begitu. Oh iya, pak Lek mau ke rumah pak rt, ada arisan. Kamu ndak papa disini ya. Temenin Tari. Ibunya ndak tau pergi kemana.”
“ Njih, Pak Lek.”
Begitu Ayah meninggalkan rumah, aku bangkit dari tidur malasku. Duduk menghadap mas Adam. Menatap dia yang juga sedang memandangku dari kursi sofa.
Jika cinta tidak bisa mengembalikan engkau kepadaku di kehidupan ini, pastilah cinta akan menyatukan kita di kehidupan yang akan datang.
Mas akan selalu sayang sama Tari, meskipun tubuh mas sekarang sudah milik orang lain. 

Teringat aku, pada penggalan surat yang sampai sekarang masih ku simpan rapi, di locker kecilku. Surat yang di berikan Mas Adam, setahun lalu. 3 hari sebelum dia melamar Mbak Yani. Hari ketika kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan, karena tidak ingin menyakiti Mbak Yani.
“ Kenapa tidak dengan kamu aja. Mas turun ranjang, Tari ?”
“ Karena Tari ndak mau mas, Mbak Lily... mencintai mas Adam juga. Tari ndak mau, cinta Tari menyakiti siapapun.”
Mas Adam menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Menarik nafas panjang dan menatapku pasrah.



#MeminjamKata

#KhalilGibran- Kalau tidak salah sih SayapSayapPatah ( Lupa halaman berapa )

No comments: