Beberapa orang tampak
hilir mudik melewatiku, membawa potongan-potongan kayu ke sudut jauh dermaga. Wajah
wajah ceria, tawa dan canda yang mengiringi mereka, membuatku tersenyum miris.
Seharusnya, aku juga bisa sebahagia itu. Setelah terjebak
rutinitas harian yang menggunung banyaknya. Sekarang aku bisa sampai disini. Dengan
dia, menghabiskan waktu bersama. Untuk mendekatkan hati kami.
Tapi....
“Kamu tadi, sms maksudnya apaan?”
Aku
meliriknya sekilas, lalu kembali mengalihkan pandanganku pada api kecil yang
kini mulai menyala di ujung dermaga.
“Bukan
apa-apa.”
Dia
menghela nafas pendek, serupa dengusan. Bibir yang digigit, alis mata hampir
bertemu dan hidung kembang kempis. Tanpa melihatnya pun, aku tahu. Ekspresi itu
yang sekarang sedang mengiringi dengusan nafas pendeknya.
“Jadi
mau mulai saling menutupi, mau mulai main rahasia-rahasiaan? Mau jadi apa,
pacaran tapi main sembunyi – sembunyian gitu?”
“Kalau
kamu peka sedikit, harusnya kamu tau, Tanpa perlu nanya. Kenapa pacar kamu,
sampe kirim sms begituan!” nada suaraku meninggi.
“Aku
ini bukan dewa, Aku ga tau apa yang ada di otak kamu. Kamu kan bisa bilang
langsung. Kenapa malah kirim sms? Ga sopan banget!”
Kena lagi, aku dimarahi.
“Aku
mau ngomong langsung, tapi males ribut.” Sahutku.
“Ini
kita ngomong langsung, apa sekarang kita ribut?”
Malah dibalikin.
“Ya,
ga ribut juga.”
Serba salah.
“Nah,
kenapa harus sms segala? Dan apa maksudnya, sms itu? 100% waktu aku, kamu Cuma kebagian 20% nya.”
“Emang
kayak gitu kan? Kamu emang ga pernah ada waktu buat aku. “
“Kamu
bilang aku ga ada waktu buat kamu. Ini kita udah mau 2 hari traveling
bareng. 48 jam potong waktu tidurku. Dan
semua itu buat kamu. Waktu yang mana lagi yang kamu cari?”
“Yah, 48 jam sama aku. Raga kamu
doang tapi, hati dan otak kamu entah di mana!”
balasku dalam hati.
“Kenapa diam aja? Emang aku ga ada pertanyaan?”
“Aku
ga tau mau jawab apaan.”
“Astaga,
Ta !! Tinggal jawab aja, waktu mana yang kamu cari! Apa susahnya?”
Aku
tutup mulutku rapat-rapat. Menghindar dari ucapan pedas yang sudah sampai di
lidahku.
Angin
semilir malam ini, usapannya terasa lembut di rambut dan wajahku. Aku memandang
ke atas. Mencoba mencari kerlip bintang yang mungkin akan bisa mendinginkan
perasaanku.
“Jadi,
kamu ga mau jawab?”
Tuhan, bisakah? Aku minta selain
dia? Aku tidak sanggup seperti ini terus.
“Kita,
emang udah dua hari barengan. Tapi kamunya sibuk yang lain.”
“Ta, aku kan ngurusin kerjaan! Bukannya main
yang lain-lain. Kamu kan tau kerjaan aku kayak gimana. Aku ga bisa lepas dari
HP. Ada dia juga yang harus aku kabarin, kan aku udah bilang resikonya. Kamu bilang
kamu ngerti, kenapa sekarang protes sih!”
“Maaf, aku kurang sabar.” Aku menyerah.
Perdebatan ini tidak akan ada
akhirnya.
Hpnya
berdering, aku menoleh pada dia yang sedang membaca siapa nama yang terpampang
di layar mungil handphonenya.
“Dia
nelfon, bentar aku angkat. Kamu jangan berisik.”
Hatiku
lepas, jatuh dari pegangannya. Bersamaan dengan jatuhnya air mataku. Cepat cepat
aku memalingkan wajah. Menghindar dari menangis di hadapannya. Tidak akan lagi
aku menangis di depannya. itu janjiku pada diriku sendiri.
Jika sesulit ini rasanya di duakan,
aku akan menuntut kata ‘PUTUS’ dengan tegas. Saat pertama kali aku mendapati
dia menduakanku.
“Aku,
ke ujung.”
Ah...
gagal, suaraku bergetar. Tapi dia sedang sibuk dengan handphonenya. Dan hanya
mengacungkan jempol padaku. Syukurlah, dia tidak menyadari runtuhnya
pertahananku. Dengan langkah perlahan aku menyusuri jalanan, menuju ujung
dermaga. Tatapanku lurus ke atas. Ku biarkan air mataku jatuh menyusuri tulang
pipiku, yang sudah terlalu basah.
“
Aku sudah bilang padaMU kan, jauhkan kami. Aku tidak sanggup lagi dengannya. Ayolah
jauhkan saja! Kenapa KAU tega sekali padaku. ” Jeritku tertahan, mencoba
menggugat Tuhan.
Saat
aku mendongak dan menggugatNYA itulah... langit seakan pecah, oleh untaian
warna warni saling susul. Keadaan yang semula gelap, kelam, tanpa kilau meski
bintang kecilpun. Sekarang nampak semarak.
Entah
kenapa perasaanku menghangat. Aku mencaci maki-NYA. Dan lihatlah, bukannya
menghukumku atas kekurang ajaranku. DIA justru menghiburku dengan cara seromantis
ini.
Kembang
api lain yang lebih besar, meloncat dari ujung dermaga... meluncur ke langit
dan pecah menjadi beberapa bagian kecil, yang pecah lagi menjadi lebih kecil. Menghujani
langit dengan ribuan cahaya beraneka warna.
Aku
menoleh ke belakang, pada dia yang sedang berjalan ke arahku sambil memainkan
hpnya. Sekali ini kesal menghilang dari hatiku. Menyambutnya dengan
senyuman hangat saat dia berdiri menjulang di hadapanku.
#Sajak Jalaludin Rumi
Manusia
ibarat suatu pesanggrahan.
Setiap
pagi selalu saja ada tamu baru yang datang.
Kegembiraan,
kesedihan, ataupun keburukan;
lalu
kesadaran sesaat datang sebagai suatu pengunjung yang tak diduga.
Sambut
dan hibur mereka semua, sekalipun mereka semua hanya membawa dukacita.
Sambut
dan hibur mereka semua,
sekalipun
mereka semua dengan kasar menyapu dan mengosongkan isi rumahmu.
Perlakukan
setiap tamu dengan hormat,
sebab
mereka semua mungkin adalah para utusan Tuhan,
yang
akan mengisi rumahmu dengan beberapa kesenangan baru.
Jika kau bertemu dengan pikiran yang gelap,
atau kedengkian,
atau
beberapa prasangka yang memalukan,
maka
tertawalah bersama mereka
dan
undanglah mereka masuk ke dalam rumahmu.
Berterimakasihlah
untuk setiap tamu yang datang ke rumahmu,
sebab
mereka telah dikirim oleh-Nya sebagai pemandumu.
*Pesanggrahan : Penginapan ( Red.)
#RahimPuisi
#PremisSamaBedaEksekusi
No comments:
Post a Comment