Translate

Monday, March 23, 2015

Pesanggrahan



            Beberapa orang tampak hilir mudik melewatiku, membawa potongan-potongan kayu ke sudut jauh dermaga. Wajah wajah ceria, tawa dan canda yang mengiringi mereka, membuatku tersenyum miris.
            Seharusnya, aku juga bisa sebahagia itu. Setelah terjebak rutinitas harian yang menggunung banyaknya. Sekarang aku bisa sampai disini. Dengan dia, menghabiskan waktu bersama. Untuk mendekatkan hati kami.
            Tapi....
            “Kamu tadi, sms maksudnya apaan?”
Aku meliriknya sekilas, lalu kembali mengalihkan pandanganku pada api kecil yang kini mulai menyala di ujung dermaga.
“Bukan apa-apa.”
Dia menghela nafas pendek, serupa dengusan. Bibir yang digigit, alis mata hampir bertemu dan hidung kembang kempis. Tanpa melihatnya pun, aku tahu. Ekspresi itu yang sekarang sedang mengiringi dengusan nafas pendeknya.
“Jadi mau mulai saling menutupi, mau mulai main rahasia-rahasiaan? Mau jadi apa, pacaran tapi main sembunyi – sembunyian gitu?”
“Kalau kamu peka sedikit, harusnya kamu tau, Tanpa perlu nanya. Kenapa pacar kamu, sampe kirim sms begituan!” nada suaraku meninggi.
“Aku ini bukan dewa, Aku ga tau apa yang ada di otak kamu. Kamu kan bisa bilang langsung. Kenapa malah kirim sms? Ga sopan banget!”
Kena lagi, aku dimarahi.
“Aku mau ngomong langsung, tapi males ribut.” Sahutku.
“Ini kita ngomong langsung, apa sekarang kita ribut?”
Malah dibalikin.
“Ya, ga ribut juga.”
Serba salah.
“Nah, kenapa harus sms segala? Dan apa maksudnya, sms itu? 100% waktu aku, kamu Cuma kebagian 20% nya.”
“Emang kayak gitu kan? Kamu emang ga pernah ada waktu buat aku. “
“Kamu bilang aku ga ada waktu buat kamu. Ini kita udah mau 2 hari traveling bareng.  48 jam potong waktu tidurku. Dan semua itu buat kamu. Waktu yang mana lagi yang kamu cari?”
“Yah, 48 jam sama aku. Raga kamu doang tapi, hati dan otak kamu entah di mana!” balasku dalam hati.
 “Kenapa diam aja? Emang aku ga ada pertanyaan?”
“Aku ga tau mau jawab apaan.”
“Astaga, Ta !! Tinggal jawab aja, waktu mana yang kamu cari! Apa susahnya?”
Aku tutup mulutku rapat-rapat. Menghindar dari ucapan pedas yang sudah sampai di lidahku.
Angin semilir malam ini, usapannya terasa lembut di rambut dan wajahku. Aku memandang ke atas. Mencoba mencari kerlip bintang yang mungkin akan bisa mendinginkan perasaanku.
“Jadi, kamu ga mau jawab?”
Tuhan, bisakah? Aku minta selain dia? Aku tidak sanggup seperti ini terus.
“Kita, emang udah dua hari barengan. Tapi kamunya sibuk yang lain.”
 “Ta, aku kan ngurusin kerjaan! Bukannya main yang lain-lain. Kamu kan tau kerjaan aku kayak gimana. Aku ga bisa lepas dari HP. Ada dia juga yang harus aku kabarin, kan aku udah bilang resikonya. Kamu bilang kamu ngerti, kenapa sekarang protes sih!”
 “Maaf, aku kurang sabar.” Aku menyerah.
Perdebatan ini tidak akan ada akhirnya.
Hpnya berdering, aku menoleh pada dia yang sedang membaca siapa nama yang terpampang di layar mungil handphonenya.
“Dia nelfon, bentar aku angkat. Kamu jangan berisik.”
Hatiku lepas, jatuh dari pegangannya. Bersamaan dengan jatuhnya air mataku. Cepat cepat aku memalingkan wajah. Menghindar dari menangis di hadapannya. Tidak akan lagi aku menangis di depannya. itu janjiku pada diriku sendiri.
Jika sesulit ini rasanya di duakan, aku akan menuntut kata ‘PUTUS’ dengan tegas. Saat pertama kali aku mendapati dia menduakanku.
“Aku, ke ujung.”
Ah... gagal, suaraku bergetar. Tapi dia sedang sibuk dengan handphonenya. Dan hanya mengacungkan jempol padaku. Syukurlah, dia tidak menyadari runtuhnya pertahananku. Dengan langkah perlahan aku menyusuri jalanan, menuju ujung dermaga. Tatapanku lurus ke atas. Ku biarkan air mataku jatuh menyusuri tulang pipiku, yang sudah terlalu basah.
“ Aku sudah bilang padaMU kan, jauhkan kami. Aku tidak sanggup lagi dengannya. Ayolah jauhkan saja! Kenapa KAU tega sekali padaku. ” Jeritku tertahan, mencoba menggugat Tuhan.
Saat aku mendongak dan menggugatNYA itulah... langit seakan pecah, oleh untaian warna warni saling susul. Keadaan yang semula gelap, kelam, tanpa kilau meski bintang kecilpun. Sekarang nampak semarak.
Entah kenapa perasaanku menghangat. Aku mencaci maki-NYA. Dan lihatlah, bukannya menghukumku atas kekurang ajaranku. DIA justru menghiburku dengan cara seromantis ini.
Kembang api lain yang lebih besar, meloncat dari ujung dermaga... meluncur ke langit dan pecah menjadi beberapa bagian kecil, yang pecah lagi menjadi lebih kecil. Menghujani langit dengan ribuan cahaya beraneka warna.
Aku menoleh ke belakang, pada dia yang sedang berjalan ke arahku sambil memainkan hpnya. Sekali ini kesal menghilang dari hatiku. Menyambutnya dengan senyuman hangat saat dia berdiri menjulang di hadapanku.

#Sajak Jalaludin Rumi
Manusia ibarat suatu pesanggrahan.
Setiap pagi selalu saja ada tamu baru yang datang.
Kegembiraan, kesedihan, ataupun keburukan;
lalu kesadaran sesaat datang sebagai suatu pengunjung yang tak diduga.
Sambut dan hibur mereka semua, sekalipun mereka semua hanya membawa dukacita.
Sambut dan hibur mereka semua,
sekalipun mereka semua dengan kasar menyapu dan mengosongkan isi rumahmu.
Perlakukan setiap tamu dengan hormat,
sebab mereka semua mungkin adalah para utusan Tuhan,
yang akan mengisi rumahmu dengan beberapa kesenangan baru.
 Jika kau bertemu dengan pikiran yang gelap, atau kedengkian,
atau beberapa prasangka yang memalukan,
maka tertawalah bersama mereka
dan undanglah mereka masuk ke dalam rumahmu.
Berterimakasihlah untuk setiap tamu yang datang ke rumahmu,
sebab mereka telah dikirim oleh-Nya sebagai pemandumu.

*Pesanggrahan : Penginapan ( Red.)
#RahimPuisi
#PremisSamaBedaEksekusi

No comments: