“ Dia akan baik baik saja “
Suara itu datang dari belakangku, tanpa mengalihkan pandanganku dari incubator pun aku tahu siapa dia. Mas Anand... suamiku... ayah dari sekuntum Mawar mungil di depan sana. Malaikat kecil kami yang berbaring nyaman di box bayi. Kulit merah muda nya tampak rapuh.
Suara itu datang dari belakangku, tanpa mengalihkan pandanganku dari incubator pun aku tahu siapa dia. Mas Anand... suamiku... ayah dari sekuntum Mawar mungil di depan sana. Malaikat kecil kami yang berbaring nyaman di box bayi. Kulit merah muda nya tampak rapuh.
Dia tidak akan bertahan
lebih dari 1 minggu.
Itu yang di ucapkan
Dokter kemarin. 3 jam setelah aku sadar. Pukulan berat bagiku. Yang baru saja
merasakan euforia menjadi seorang Ibu.
“
Aku tahu dia akan baik baik saja, dia anak yang kuat “
“
Dan anak yang kuat juga butuh Bunda yang kuat “ Tangan Mas Anand merengkuh
bahuku.
Aku kuat mas.., bahkan
jika aku harus menahan keinginanku menyusuinya, menciumnya ataupun memeluknya.
Asalkan dia tetap sehat... aku pasti akan selalu kuat.
Dia
menyentuh pinggangku dan menuntunku kembali ke kamar. Kedua mertuaku sedang
duduk di kursi samping ranjang. Bersama dengan Navia... adik iparku. Suasana
mendadak sunyi saat aku masuk ke dalam.
“ Kamu harus langsung urus pengobatan ke
Singapore, Nand “ Suara tegas Ibu mertuaku, terdengar saat aku baru menghenyakkan
pantat di ranjang.
“
Dokter di Singapore pun ga akan bisa bantu Ma... Anand sudah konsultasi. “
“
Ya tapi kan setidaknya kalian sudah berusaha. Anak itu ga bisa di biarin tumbuh
dengan penyakit itu di tubuhnya. Kasian... “
Aku
mendesah, percakapan ini sudah di ulang lebih dari 3 kali sejak aku membuka mata
2 hari yang lalu, dan sejak Alia ( putri kami ) menghirup kotornya udara dunia,
1 hari sebelumnya. Tidak ada jalan keluar yang di temukan dari percakapan yang
ujungnya hanya perdebatan ini.
“
Nanti kalau sudah di rumah saja, di bahasnya. Yang penting dua dua nya pulih
dulu”
Aku
melayangkan tatapan terima kasih pada papa mertuaku atas ucapannya.
Que Sera Sera..
Whatever will be...
just will be...
****
Suara
tangisan Alia makin kencang, membuatku makin keras juga menggigit bibir
bawahku. Tangan ku yang satu sibuk memainkan kecrekan di atas wajahnya. Dan
tangan yang satu nya lagi sibuk mengibaskan kipas bambu di atas tubuhnya.
“
Sssttthhh.... Alia anak manis... jangan nangis dong, ni bunda kipasin ni... ga
panas lagi kan ? ! “
Tetes
demi tetes air mata berjatuhan, makin deras mengaliri pelupuk mataku. Bersaing
dengan tetes air mata Alia yang mulai membasahi bantal Hello Kitty nya. Ketidak
berdayaanku sampai ke titik terendah, Hari ini 30 hari setelah Alia di
bawa pulang. Aku merasa inilah saat terberat dalam hidupku.
Aku
menarik selimut, lalu perlahan melepaskan popok dan gurita yang membalut tubuh
mungilnya. Tidak basah... tapi kenapa dia tidak mau diam.
“ Kenapa Bun ?”
“
Alia... rewel... aku... Hallo... Yah ??”
Suara
Mas Anand yang putus putus di telefon, bersahut sahutan dengan suara Alia yang
menangis makin kencang di dalam.
“
Udah minum susu ?”
“
Sudah, Masih ga mau diem. “
“
Buka bajunya... mungkin kepanasan. “
“
Sudah !!!.... semua nya udah... tapi tetep ga mau diem. Ini harus gimana dong
!!! “ Nada suaraku meninggi.
Aku kan ga bego bego
amat.. kenapa sih... ngasih tau nya kayak ke awam banget.
“
Angkat pakai selimutnya, bawa ke dokter. Ayah telfon Navia biar jemput ke situ.
Bunda jangan panik ya... bentar lagi Ayah pulang. Assalamualaikum “
Tuuuuttt....
sunyi... tanpa mendengar salam balikku. Mas Anand menutup telfonnya.
Menguatkan
hati... Sepelan yang aku bisa... dan sebisa mungkin menghindari kontak dengan
kulitnya. Aku menyelimuti tubuh mungil Alia yang berwarna kemerahan, dan mengangkatnya.
Jeritannya
mereda, meski tangis tidak sepenuhnya hilang.
“
Jadi kamu cuma pengen bunda gendong ya... dasar manja !!! “
Aku
mendekatkan wajahku, hidungku hampir menyentuh pipinya, sebelum aku berhenti, 1
cm dari wajah Alia. Mata bulat berwarna coklat yang dia warisi dari ayahnya.
Tampak berbinar binar, seakan menunggu sentuhanku.
Senyum
juga menghiasi bibir mungilnya yang kemerahan. Sisa sisa tangis itu hanya
tinggal lelehan di pelupuk matanya.
Senyumku
ikut merekah... senandung kecil aku dendangkan sambil mengayun ayun pelan
tubuhnya. Tangan mungil Alia bergerak perlahan ke wajahnya.
“
Mbak... katanya mau ke dokter ?” Navia sudah muncul di ambang pintu kamar.
“
Ga usah... Alia nya udah diem.”
“
Lho... koq di gendong kayak gitu ? EB kan ga boleh di gendong... apalagi kena
kulit.”
“
Tadi nangis... Mbak Gendong langsung diem. Ni liat... udah diem. Mbak ga sentuh
dia koq. “
Navia
tampak terperanjat melihat Alia, membuatku mengerutkan kening. Memangnya anak
ku sebegitu jeleknya. Sampai dia harus pasang tampang seperti itu.
Alia
masih sama manisnya dengan tadi... terlelap di pelukanku. Senyum bahkan
menghiasi bibirnya.
Tuhan
benar benar sempurna menciptakan dia... alis matanya yang tebal... kelopak
matanya yang lentik. Bibir mungil merah jambu dan hidung... oh... hidung...
Lho.. kenapa berdarah.
Melihat
wajah panikku... Navia seperti baru saja mendapatkan kesadarannya.
“
Dokter... kita ke dokter “ Navia menyeretku berikut Alia di pelukanku menuju
mobilnya.
Dan
dengan cepat menginjak pedal gas... sampai sentakan ke belakang membuatku
melirik lagi pada Alia. Hidungnya berdarah... pun kulit tangannya.
Beberapa
bagian di sana melepuh seperti terkena luka bakar. Nafasku kembang kempis...
ketukan di dadaku juga seperti nya makin pelan dari ritme nya yang biasa.
Ada
apa dengannya... kenapa dia... aku tidak menyentuhnya kenapa dia bisa jadi
begini.
Aku
hanya menggendongnya... dengan selimut. Aku bahkan menahan keinginanku untuk
menciumnya. Air mataku makin deras menetes lagi. Pun air mata Navia. Isakan kami
bersahut sahutan dalam ketegangan.
Alia
tidak lagi bergerak di pangkuanku.
Tuhaaaann....
Aku mohon.. Satu jam lagi saja... berikan aku kesempatan untuk bersamanya. Aku hanya
ingin mematri lengkung bibirnya saat tersenyum di hatiku.
****
EPIDERMOLYSIS
BULLOSA
satu dari sekian penyakit langka di dunia. Yang hanya terjadi satu dalam satu
juta kelahiran anak. Kulit anak akan
langsung melepuh saat bersentuhan dengan kulit.
Sentuhan
Tangan Alia dengan hidungnya, membuat hidung itu berdarah. Pencernaan nya juga
berhenti berfungsi, karena bakteri sudah masuk ke organ dalamnya.
Saat
kami mencapai rumah sakit... semua sudah terlambat.
“ Tidak apa apa... Alia jadi tabungan kita di
syurga. “ Ucapan Mas Anand Hanya seperti
desau angin. Karena mendadak semua menjadi gelap gulita.
#KataSebuahNapas @KampusFiksi
No comments:
Post a Comment