#KeretaAksara
“ Putus ?” Ulangku bingung, sambil menatap manik mata hitamnya yang
teduh.
“ Kereta kamu udah dateng tu,”
“ Putus, kenapa ? emang aku bikin salah ya ?”
Mengabaikan pernyataannya dan kereta terakhir yang akan membawaku pulang,
aku menarik lengannya. Membawa dia yang sedang memandangi keretaku. Untuk kembali
fokus padaku.
“ Nanti kita omongin di telfon ya, kereta terakhir kamu. Nanti kemaleman
! “
Aku masih ingin membantah, tapi sesuatu dalam ketegasan suara Sandi
membuatku terdiam. Dengan enggan aku mengikuti langkah kakinya menuju kereta yang
akan aku tumpangi.
Dia menarik tubuhku, sebelum aku melangkahkan kaki ke dalam gerbong kereta.
Memelukku erat. Aku membeku, terlalu bingung untuk bersikap. Kata kata putus itu
masih berputar putar di kepalaku.
“ Sampai rumah kabari aku.”
Aku hanya mengangguk, Segera setelah kaki ku melangkah ke dalam gerbong
ular besi itu, pintu otomatis langsung tertutup. Aku memandang keluar melalui
kaca film gelap. Pada Sandi yang juga masih memandangku.
“ Putus kenapa ? “ Ulang bibirku tanpa suara, sesuatu seperti perasaan
bersalah aku tangkap di matanya. Di iringi isyarat jempol dan kelingking.
“ Nanti aku telfon.” Kata itu yang aku terjemahkan, melalui gerak
bibirnya, dan isyarat tadi.
Perlahan... kereta mulai bergerak. Aku masih belum beranjak dari pintu. Bahkan
setelah hanya tersisa kegelapan malam pun, aku tak juga bisa beranjak dari
depan pintu. Ku sandarkan kepalaku ke tiang pegangan, mataku lurus menatap
bayanganku sendiri yang terpantul dari kaca.
Tubuhku yang tidak seksi inikah? wajahku yang tidak cantik? atau kegagalanku
untuk membuat dia nyaman? Yang mana
masalahnya, sampai dia melontarkan kata ‘PUTUS’ padaku.
Bulir bulir bening jatuh di pipiku
tanpa ku sadari, dengan cepat aku merapatkan kacamata, Meninggikan syal yang
melingkari leherku, untuk menutup mulut, agar acara menangisku tidak ketahuan
penumpang yang lain.
****
“ Bintang, hamil ! Aku harus
nikahin dia. Bagaimanapun juga itu anak aku kan. Aku sayang sama kamu Ta...
tapi aku tidak bisa lagi sama kamu. Maafkan aku.”
Lampu bioskop menyala, membuatku gelagapan bingung memandang sekeliling. Di
samping kananku, Sandi sedang menyeruput ice chocolate nya.
“ Filmnya bagus ya,”
“ Iya, “ Jawabku sambil mengulas sedikit senyuman.
Mataku terasa aneh, aku mengerjabkannya sesaat. ah, basah. Cepat aku
menundukkan wajah, menghindar dari tatapan Sandi.
Kenapa kilasan percakapan kemarin selalu muncul, membawa air mataku
keluar semaunya sendiri.
“ Ayo... pulang.”
Tangan Sandi terulur, aku meraihnya dengan telapak tangan kiri ku, Tanpa mengangkat
wajah.
***
“ Koq mata kamu merah Ta, nangis ya kamu ?” Tanya Sandi. Aku melenguh,
menyalahkan cahaya lampu stasiun kereta yang terlalu terang.
“ Ah... iya, itu filmnya sedih
banget.”
Lancar sekali mulutku berbohong,
hebat !!
“ Ah segitu doang, dasar sensitif kamu ! Eniwei... Makasih ya, udah
nemenin aku, nonton.”
“ Iya sama sama.”
Handphone Sandi berbunyi, dia memandangku.
“ Angkat aja.” ucapku lirih. Sandi melemparkan tatapan meminta maaf
padaku, sebelum mengangkat telfonnya.
“ Hallo... aku masih di stasiun, ini mau pulang. Iya, sampe rumah aku
telfon kamu. Bye Bunda ! “
Ludahku memadat, sesuatu seperti mengiris iris hatiku. Aku mengalihkan
pandangan dari Sandi pada peron kereta. Memfokuskan tatapanku pada peron nomer
5, di mana keretaku barusan muncul. Aku harus menjauh dari dia, sebelum aku mulai
menangis di hadapannya.
“ Aku... duluan ya, kamu... hati hati pulangnya. “ Dengan cepat, aku
melangkah meninggalkan Sandi. Menuju kereta yang akan aku tumpangi. Aku celingak
celinguk di dalam. Mencari kursi kosong, dan untunglah, kereta nya tidak penuh.
Hanya ada beberapa orang di gerbong ini. Aku melangkah ke sudut. Tempat duduk
penderita disabilitas.
Kesanalah aku menuju. aku memang
tidak cacat fisik. Tapi hatiku cacat, jadi jangan marahi aku, karena aku duduk
di sini.
Aku tarik Hoodie menutupi kepala, Lalu aku pejamkan mataku. Berharap dengan
begitu, aku bisa memblok semua kejadian buruk yang terjadi beberapa hari ini.
“ Maafin aku.“
Suara Sandi samar samar masuk ke telingaku, lihatlah... bahkan saat jauh darinya pun aku bisa mendengar suaranya
dengan begitu jelas.
“ Aku brengsek banget ya Ta, kamu
pasti mikir, aku brengsek banget kan ?”
Suara itu lirih. Di sertai usapan tangan lembut di pipiku, membuatku
mengigit bibir. Cuma khayalan, tapi rasanya kenapa sebegini nyata.
Tuhan... tolong jaga
kewarasanku.
Merasa putus asa dengan khayalanku yang sudah di ambang batas, aku
membuka mata. Tatapan teduh Sandi menyambutku. Membuatku sontak menegakkan
punggung.
“ Kamu, kenapa ada di sini !? ” Tanyaku kaget.
“ Besok, aku sudah ga bisa gini lagi. Jadi tolong... ijinkan aku sama
kamu sebentar lagi. Tadi kamu pergi nya cepet banget, jadi aku nyusul kesini.”
Kereta bergetar sesaat sebelum mulai berjalan.
“ Tapi nanti kamu ketinggalan kereta terakhir, Car !”
“ Nanti, aku naik taksi. Ta... aku mohon, maafin aku ya.”
“ Maaf untuk apalagi ?”
“ Untuk semua kelakuanku Ta, harusnya aku ga main main sama dia. Harusnya
aku tepati janji aku untuk ninggalin dia. Tapi aku malah berbuat sejauh ini.
Dan sekarang Tuhan menghukumku. Dengan membuat dia hamil.”
“ Hei... Jangan ngomong gitu. Dia hamil, seharusnya kamu bersyukur. Kan bentar
lagi, kamu jadi Ayah. Anak kan anugrah. Aku emang sakit, Car. Tapi aku ga apa
apa koq. Aku udah pasrah, kalau memang Tuhan kasih kamu untuk jadi jodoh dia. Masa
ya aku mau komplain. Sakitnya sebentar doang koq. Nanti juga sembuh.”
Aku mencoba tersenyum, tangan Sandi terulur. meraih kepalaku dan membawaku
ke pundaknya. Aku memperbaiki dudukku, menyandar dengan lebih nyaman padanya. Tangan
kanannya di punggungku, dan telapak tangan kirinya mengelus elus pipiku.
Tidak butuh banyak kata, perlakuan dia yang seperti ini. Selalu berhasil membuatku
lumer seperti coklat yang
meleleh kala di panaskan. Dan hal ini lah yang akan sangat sulit aku lupakan
nantinya.
Kesunyian panjang yang tercipta antara kami, masih belum terpecahkan. Bahkan
saat aku sudah mendekati stasiun tujuanku.
“ sudah sampai,” bisikku
Aku menatapnya, tercekat dengan kilat bening yang sekarang ada di
matanya. Buru buru aku menelan ludah, untuk menahan kilat bening yang juga ada
di mataku. Agar tidak tumpah.
Tidak... car... jangan meruntuhkan pertahananku, akan menjadi goresan
selamanya di hati aku dan hati kamu. Kalau kita sama sama menangis sekarang.
“ Pinjem Handphone,” Ujarku tiba tiba.
Meski bingung dia meraih ponselnya, dan memberikannya padaku. Aku mengetikkan
tanggal jadian kami. Kode buka
handphonenya. Mencari kontak ‘Cinta’ menuliskan namaku sendiri, untuk
mengganti nama kontak itu.
“ kenapa di ganti ?”
“ Namaku, Karin !”
“ Ta, “
“ Rin, bukan Ta ! Aku akan sangat merindukanmu, “ Bisikku sambil mengecup
pipinya.
Kereta berhenti, aku melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Setengah berharap
dia akan mengejarku.
Harapan Konyol !
Bulan mengintip malu dari balik awan. Seakan enggan memamerkan sinarnya
yang keemasan padaku yang sedang terluka ini. Aku menarik ponselku. Mencari nama
‘PACAR’ dan mengeditnya.
Dia Sandi dan aku Karin. Tidak ada lagi ‘CINTA’ dan ‘PACAR’ panggilan
sayang kami. Kami hanya berteman. Sekarang dia adalah temanku.
Satu tetes air mata, jatuh setiap kali aku ulang kata ‘teman’ di bibir
dan hatiku.
No comments:
Post a Comment