Panas… teriknya
menyengat dan membuat ubun2 ku serasa melepuh, Jakarta siang hari selalu
seperti ini Hanya aku saja yang masih begitu bodoh merelakan kulitku yang sudah
hitam ini menjadi semakin hitam dan hitam lagi kemudian lebih hitam… warna
hijau terlihat dari kejauhan memaparkan sejuta harapan untuk lebih cepat
berlari dan menyudahi penderitaan ini. Tapi harapan itu surut secepat dengan
datangnya… warna hijau di sampingnya mengisyaratkan bahwa harapan itu terlalu
tipis… terlambat sudah, dan terpuruklah aku di sini di bawah sengatan matahari
di atas kepala, si merah dengan garang membuat decitan demi decitan ban beradu
dengan aspal panas. lampu merah Jakarta padat seperti biasanya dengan tukang
jualan rokok, dengan ibu – ibu yg menggoyang goyangkan botol di isi beras
menyanyi sambil menggendong anak nya yang mungkin baru 9 bulan….
“bedebah lah
seorang ibu yang tega membawa bawa anak nya yang masih sekecil itu Cuma demi
sebait rasa kasian “
Kulepas semua yang ku inginkan
Tak akan ku ulangi
Maafkan jika kau kusayangi
Dan bila kumenanti
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Pernahkah engkau coba mengerti
Lihatlah ku disini
Mungkinkah jika aku bermimpi
Salahkah tuk menanti
Tak akan ku ulangi
Maafkan jika kau kusayangi
Dan bila kumenanti
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Pernahkah engkau coba mengerti
Lihatlah ku disini
Mungkinkah jika aku bermimpi
Salahkah tuk menanti
Alunan lagu itu
terdengar dari suara serak di samping ku, anak ini bahkan baru 6 tahun mungkin
umurnya, apa dia faham nyanyi lagu cinta2 begini… miris… tapi kalau di pikir2 mungkin yang dia maksud
dalam lagu ini bukan lah cinta… bukan kasih sayang, seperti maksud yang di
sembunyikan saat remaja2 galau melantunkannya. Yang di nanti anak ini adalah
sekeping uang… sekeping keikhlasan demi cacing di perut yang meronta kelaparan,
sekeping uang demi sebatang rokok yang wajib di hisap untuk sebuah pengakuan. bahkan
di hidup mereka yang sulit pun, tak jarang di temui sebatang rokok yang masih
berasap di tangan dan se botol minuman keras yang tinggal setengah isi nya.
Hanya untuk
inikah mereka berjibaku dengan panas setiap hari, hanya untuk rokok dan minuman
kah mereka melantunkan bait demi bait sampai suara serak. Lalu kemanakah muka
memelas yang setiap hari merintih
“kak…. Buat biaya sekolah kak “
“kak… buat makan kak “
Sembunyi di
balik muka pasrah dan memelas, sembunyi di balik muka penuh derita dan
kesengsaraan,
Tapi buka dulu topengmu,
Buka dulu topengmu
Biar kulihat warnamu,
Kan kulihat warnamu
Buka dulu topengmu
Biar kulihat warnamu,
Kan kulihat warnamu
Lalu siapa yang
akan di salahkan, mereka kah? Yang masih kecil dan hanyut dalam pergaulan? Atau
orang tua nya kah yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, tapi mereka kaum
pinggiran… sesibuk apa orang tuanya sampai tidak sanggup memperhatikan anak
anak mereka, atau mungkin mereka tak lagi mempunyai orang tua. Kalo mereka
yatim piatu dan kita melihat yang seperti itu lalu diam saja… maka itu salah
kita, salah kita kaum hedonis yang memanjakan nafsu belanja dan menelantarkan
mereka tanpa pegangan. Betapa beratnya mengeluarkan selembar 10.000 an untuk
mereka, miris memperhatikan mereka, ku putuskan kali ini aku harus melakukan
sesuatu.
Ku pandang anak
kecil yang bersuara serak di sampingku ini, ku pinggirkan motorqu dan ku
panggil dia agar mendekat
“kamu sudah
sekolah “
“ ga sekolah kak…
ga ada duit “ polos sekali jawabannya, entah karena dia sudah di latih seperti
itu.. entah karena anak ini memang polos, tapi aku lebih memilih mengatakan
pada diriku sendiri kalo anak ini memang polos.
“ kamu tinggal di
mana? “
“ Di belakang
sana kak “ jawab anak kecil itu mata nya berbinar entah berharap aku memberinya
apa
“ bapak sama ibu
kamu ada “ tanyaku lagi…
Aku akan ke
sana, ke rumah nya dan akan ku jadikan anak ini anak asuh, meskipun gajiku
tidak terlalu besar, aku hampir yakin aku bisa mengatasi nya.
“ ada “
“ ayo kesana,
kakak mau ngomong sama orang tua kamu “
Anak itu terpana
sedikit, matanya hampir pasti kulihat penuh kemenangan, tatapan apa ini batinku.
Apa mereka biasanya segembira ini kalau ada orang yang ingin ketemu dengan
orang tua mereka. Ku hela nafas sekali. Sudahlah… jangan terlalu berpikiran
yang macam2… niatkan saja mau membantu nya. Jadi pergilah ke sana dan bicarakan
dengan orang tua nya. Agak kaget saat boncengan belakang tiba2 melesak ke
bawah. Anak ini sudah duduk di boncengan motorku bahkan sebelum ku minta.
“ semangat
banget “
“ hehehe iyah “
katanya sambil memeluk pinggangqu.
Gadis ini tak
lebih dari 6 tahun umurnya, se umuran keponakanku di kampung sana.
Si hijau tampil
dengan semburat kelembutan menggantikan kegalakan si merah yang perkasa, ku
tarik gas di tangan dan pelan tapi pasti ku pacu motor kesayanganku ini ke
rumah yang di tunjuk oleh si kecil yang duduk di belakangku. Si kecil yang
tidak aku ketahui nama nya
Kami berdiam diri
selama perjalanan, aku bukan orang yang terlalu suka bicara, dan anak ini
sepertinya lebih menikmati melihat lihat jalanan daripada menanyakan sesuatu
padaku, atau menanyakan maksud kedatanganku ke rumah nya.
“ah.. dia tidak
akan faham… dia baru 6 tahun, dia tidak akan tau kenapa seseorang tiba2 ingin ke
rumah nya”
Waktu terus berlalu
Tinggalkan kita masih membisu
Wajahmu tetap begitu
Biarkan semua tetap membeku
Tinggalkan kita masih membisu
Wajahmu tetap begitu
Biarkan semua tetap membeku
Ke kanan .. ke
kiri lagi… puter arah… lalu kiri lagi dan kanan lagi, begitu terus dan
berputar2 sudah sejam rasanya aku memutari yang itu itu lagi. Setelah memutar untuk
yang ketiga kalinya . Ku hentikan motorku di pinggir jalan
“ kamu ingat ga
rumah kamu yang mana, kan kita sudah lewat sini tiga kali “
Pegangan anak
itu mendadak kaku di pinggangku. Ku standarkan motorku… aku turun dari motor
dan memandangnya. Dia mengecil ketakutan di jok belakang.
“ ehm… anu…
sebenernya saya “ gagapnya sambil melirik lirik gelisah
“ ya… “
“ saya ga punya
rumah… “ bisiknya lirih, kalau bukan karena kondisi jalan yang sepi aq mungkin
tidak akan mendengar kata2 nya
“ ya salam… kalo
ga punya rumah, kenapa ga bilang drtd sih… kan kakak capek muter muter “
mau niat baik
malah di kerjain. Kalo ga anak kecil udah ku piting2 ni bocah
“ ya udah orang
tua kamu mana, ayo antar kakak ke mereka saja “
Gadis itu
menunduk, makin dalam… sekali ini dia bicara makin lirih, bahkan angin semilir
pun kalah lirih dengan kata katanya
“kakak ga denger
kamu ngmg apa, yang keras kalo ngomong”
“ saya ga punya
orang tua juga “ bisiknya lagi…
Dheg… aku di
bohongi, ini anak kenapa tukang bohong gini… yang awalnya aku niat buat bantu
dia, urung sudah niatku. Belum ku asuh aja dia sudah pintar bohong begini. Bagaimana
nanti. Suka bohong kan sifat… yang namanya sifat pasti susah di hilangin. Kalo keadaan
nya bukan lagi jengkel begini aku pasti terenyuh saat dia bilang ga punya orang
tua gini. Tapi sekali ini tingkat emosiku sudah naik… aku benci di bohongi… dan
anak ini bohong padaku, bohong saat aku bersimpati dan ingin membantunya. Keterlaluan…
“ jadi kamu
bohong gitu? Hah? Di Tanya baik2 kamu bohong sama kakak… apa kamu ga tahu kalo
bohong itu dosa “ teriak ku jengkel
“ maaf kak… saya
Cuma pengen jalan jalan aja, muter muter naik motor. “ rengek anak itu takut
Air Matanya mengalir
satu demi satu. Aku terpana menatapnya… merasa bersalah telah berteriak, dan
bicara keras di depan anak ini. Cuma pengen jalan jalan naik motor, betapa dulu
aku juga selalu ingin seperti itu… jalan jalan naik motor berdua dengan bapak
ku muter muter kampung rasanya udah wow banget. Dan anak ini sangking
kepengennya naik motor dan ga punya orang tua tempatnya merengek minta di ajak
naik motor… dia harus berbohong Cuma biar di ajak muter muter naik motor. Pantas
dia berbinar sekali tadi saat ku Tanya di mana rumah nya. Rupanya dia sudah
merencanakan kebohongan ini untuk memenuhi keinginannya. Ah anak ini… sederhana
sekali baginya kebahagiaan itu.
Betapa sesungguhnya
bahagia itu sederhana….
No comments:
Post a Comment