Translate

Tuesday, August 14, 2012

Bahagia itu Sederhana


Panas… teriknya menyengat dan membuat ubun2 ku serasa melepuh, Jakarta siang hari selalu seperti ini Hanya aku saja yang masih begitu bodoh merelakan kulitku yang sudah hitam ini menjadi semakin hitam dan hitam lagi kemudian lebih hitam… warna hijau terlihat dari kejauhan memaparkan sejuta harapan untuk lebih cepat berlari dan menyudahi penderitaan ini. Tapi harapan itu surut secepat dengan datangnya… warna hijau di sampingnya mengisyaratkan bahwa harapan itu terlalu tipis… terlambat sudah, dan terpuruklah aku di sini di bawah sengatan matahari di atas kepala, si merah dengan garang membuat decitan demi decitan ban beradu dengan aspal panas. lampu merah Jakarta padat seperti biasanya dengan tukang jualan rokok, dengan ibu – ibu yg menggoyang goyangkan botol di isi beras menyanyi sambil menggendong anak nya yang mungkin baru 9 bulan….
“bedebah lah seorang ibu yang tega membawa bawa anak nya yang masih sekecil itu Cuma demi sebait rasa kasian “
Kulepas semua yang ku inginkan
Tak akan ku ulangi
Maafkan jika kau kusayangi
Dan bila kumenanti
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Pernahkah engkau coba mengerti
Lihatlah ku disini
Mungkinkah jika aku bermimpi
Salahkah tuk menanti
Alunan lagu itu terdengar dari suara serak di samping ku, anak ini bahkan baru 6 tahun mungkin umurnya, apa dia faham nyanyi lagu cinta2 begini… miris…  tapi kalau di pikir2 mungkin yang dia maksud dalam lagu ini bukan lah cinta… bukan kasih sayang, seperti maksud yang di sembunyikan saat remaja2 galau melantunkannya. Yang di nanti anak ini adalah sekeping uang… sekeping keikhlasan demi cacing di perut yang meronta kelaparan, sekeping uang demi sebatang rokok yang wajib di hisap untuk sebuah pengakuan. bahkan di hidup mereka yang sulit pun, tak jarang di temui sebatang rokok yang masih berasap di tangan dan se botol minuman keras yang tinggal setengah isi nya.

Hanya untuk inikah mereka berjibaku dengan panas setiap hari, hanya untuk rokok dan minuman kah mereka melantunkan bait demi bait sampai suara serak. Lalu kemanakah muka memelas yang setiap hari merintih
“kak…. Buat biaya sekolah kak “
“kak… buat makan kak “
Sembunyi di balik muka pasrah dan memelas, sembunyi di balik muka penuh derita dan kesengsaraan,
Tapi buka dulu topengmu,
Buka dulu topengmu
Biar kulihat warnamu,
Kan kulihat warnamu
Lalu siapa yang akan di salahkan, mereka kah? Yang masih kecil dan hanyut dalam pergaulan? Atau orang tua nya kah yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, tapi mereka kaum pinggiran… sesibuk apa orang tuanya sampai tidak sanggup memperhatikan anak anak mereka, atau mungkin mereka tak lagi mempunyai orang tua. Kalo mereka yatim piatu dan kita melihat yang seperti itu lalu diam saja… maka itu salah kita, salah kita kaum hedonis yang memanjakan nafsu belanja dan menelantarkan mereka tanpa pegangan. Betapa beratnya mengeluarkan selembar 10.000 an untuk mereka, miris memperhatikan mereka, ku putuskan kali ini aku harus melakukan sesuatu.

Ku pandang anak kecil yang bersuara serak di sampingku ini, ku pinggirkan motorqu dan ku panggil dia agar mendekat
“kamu sudah sekolah “
“ ga sekolah kak… ga ada duit “ polos sekali jawabannya, entah karena dia sudah di latih seperti itu.. entah karena anak ini memang polos, tapi aku lebih memilih mengatakan pada diriku sendiri kalo anak ini memang polos.
“ kamu tinggal di mana? “
“ Di belakang sana kak “ jawab anak kecil itu mata nya berbinar entah berharap aku memberinya apa
“ bapak sama ibu kamu ada “ tanyaku lagi…
Aku akan ke sana, ke rumah nya dan akan ku jadikan anak ini anak asuh, meskipun gajiku tidak terlalu besar, aku hampir yakin aku bisa mengatasi nya.
“ ada “
“ ayo kesana, kakak mau ngomong sama orang tua kamu “
Anak itu terpana sedikit, matanya hampir pasti kulihat penuh kemenangan, tatapan apa ini batinku. Apa mereka biasanya segembira ini kalau ada orang yang ingin ketemu dengan orang tua mereka. Ku hela nafas sekali. Sudahlah… jangan terlalu berpikiran yang macam2… niatkan saja mau membantu nya. Jadi pergilah ke sana dan bicarakan dengan orang tua nya. Agak kaget saat boncengan belakang tiba2 melesak ke bawah. Anak ini sudah duduk di boncengan motorku bahkan sebelum ku minta.
“ semangat banget “
“ hehehe iyah “ katanya sambil memeluk pinggangqu.
Gadis ini tak lebih dari 6 tahun umurnya, se umuran keponakanku di kampung sana.

Si hijau tampil dengan semburat kelembutan menggantikan kegalakan si merah yang perkasa, ku tarik gas di tangan dan pelan tapi pasti ku pacu motor kesayanganku ini ke rumah yang di tunjuk oleh si kecil yang duduk di belakangku. Si kecil yang tidak aku ketahui nama nya
Kami berdiam diri selama perjalanan, aku bukan orang yang terlalu suka bicara, dan anak ini sepertinya lebih menikmati melihat lihat jalanan daripada menanyakan sesuatu padaku, atau menanyakan maksud kedatanganku ke rumah nya.
“ah.. dia tidak akan faham… dia baru 6 tahun, dia tidak akan tau kenapa seseorang tiba2 ingin ke rumah nya”
Waktu terus berlalu
Tinggalkan kita masih membisu
Wajahmu tetap begitu
Biarkan semua tetap membeku
Ke kanan .. ke kiri lagi… puter arah… lalu kiri lagi dan kanan lagi, begitu terus dan berputar2 sudah sejam rasanya aku memutari yang itu itu lagi. Setelah memutar untuk yang ketiga kalinya . Ku hentikan motorku di pinggir jalan
“ kamu ingat ga rumah kamu yang mana, kan kita sudah lewat sini tiga kali “
Pegangan anak itu mendadak kaku di pinggangku. Ku standarkan motorku… aku turun dari motor dan memandangnya. Dia mengecil ketakutan di jok belakang.
“ ehm… anu… sebenernya saya “ gagapnya sambil melirik lirik gelisah
“ ya… “
“ saya ga punya rumah… “ bisiknya lirih, kalau bukan karena kondisi jalan yang sepi aq mungkin tidak akan mendengar kata2 nya
“ ya salam… kalo ga punya rumah, kenapa ga bilang drtd sih… kan kakak capek muter muter “
mau niat baik malah di kerjain. Kalo ga anak kecil udah ku piting2 ni bocah
“ ya udah orang tua kamu mana, ayo antar kakak ke mereka saja “
Gadis itu menunduk, makin dalam… sekali ini dia bicara makin lirih, bahkan angin semilir pun kalah lirih dengan kata katanya
“kakak ga denger kamu ngmg apa, yang keras kalo ngomong”
“ saya ga punya orang tua juga “ bisiknya lagi…
Dheg… aku di bohongi, ini anak kenapa tukang bohong gini… yang awalnya aku niat buat bantu dia, urung sudah niatku. Belum ku asuh aja dia sudah pintar bohong begini. Bagaimana nanti. Suka bohong kan sifat… yang namanya sifat pasti susah di hilangin. Kalo keadaan nya bukan lagi jengkel begini aku pasti terenyuh saat dia bilang ga punya orang tua gini. Tapi sekali ini tingkat emosiku sudah naik… aku benci di bohongi… dan anak ini bohong padaku, bohong saat aku bersimpati dan ingin membantunya. Keterlaluan…
“ jadi kamu bohong gitu? Hah? Di Tanya baik2 kamu bohong sama kakak… apa kamu ga tahu kalo bohong itu dosa “  teriak ku jengkel
“ maaf kak… saya Cuma pengen jalan jalan aja, muter muter naik motor. “ rengek anak itu takut
Air Matanya mengalir satu demi satu. Aku terpana menatapnya… merasa bersalah telah berteriak, dan bicara keras di depan anak ini. Cuma pengen jalan jalan naik motor, betapa dulu aku juga selalu ingin seperti itu… jalan jalan naik motor berdua dengan bapak ku muter muter kampung rasanya udah wow banget. Dan anak ini sangking kepengennya naik motor dan ga punya orang tua tempatnya merengek minta di ajak naik motor… dia harus berbohong Cuma biar di ajak muter muter naik motor. Pantas dia berbinar sekali tadi saat ku Tanya di mana rumah nya. Rupanya dia sudah merencanakan kebohongan ini untuk memenuhi keinginannya. Ah anak ini… sederhana sekali baginya kebahagiaan itu.

Betapa sesungguhnya bahagia itu sederhana…. 

No comments: